Catatan Perkuliahan Prof. Dr. Conny R. Semiawan
Why, mengapa, dimensi kultural psikologis
dalam pendidikan. Pernyataan ini merupakan entry point mengawali suatu
perkuliahan dalam mata kuliah “Dimensi Kultural Psikologis dalam Pendidikan
bersama Ibu Prof. Conny Semiawan dan Ibu Dr. Yufiarti. Ketika pernyataan ini
diformulasi ke dalam bentuk pertanyaan “mengapa perlu adanya dimensi kultural
psikologis dalam pendidikan? Berbagai pandangan dari kawan-kawan pun muncul
untuk meresponi pertanyaan tersebut. Sebagian kawan mengatakan bahwa kehidupan
manusia tidak dapat dipisahkan dari aspek kultural psikologis.
Oleh karena itu, pendidikan harus dirancang
untuk menopang tumbuh kembangnya aspek ini di dalam praktek-praktek pendidikan.
Teman yang lain memberikan pernyataan yang nampaknya bersumber dari hasil cara
berpikir yang sama yang melihat betapa manusia membutuhkan interaksi sosial
dalam menjalankan aktifitasnya sehari-hari. Dengan demikian, manusia yang satu
membutuhkan pembinaan, arahan dan didikan dari manusia lainnya. Kedua jawaban
tersebut pada hakekatnya tidak keliru, tetapi belum berpijak pada potensi dasar
manusia yang dibawa sejak lahir. Potensi dasar yang dimaksud adalah hadirnya
manusia (bayi) dengan membawa masing-masing keunikan individual yang multi
kompleks yang merupakan keutuhan jamak dengan penuh keterarahan. Keutuhan jamak
tetapi memperhatikan keterarahan individualitas yang unik. Dikatakan unik
karena tidak satu pun manusia yang lahir di dunia memiliki kesamaan bentuk rupa
dan tingkat kecerdasan sekalipun dilahirkan dalam bentuk anak kembar.
Hakekat Keunikan Individu
Manusia
Manusia lahir dari 1 – 200 miliar sel otak,
neuron-neuron, tapi yang kita pakai Cuma 5%. Padahal 1-200 miliar sel otak,
sejumlah plamir di luar angkasa mampu memproses beberapa triliunan informasi.
Tapi Kebenayakan neuron-neuron itu tidak bekerja, Tidur, pinsang, atau belum
berfungsi. Kalau yang dihasilkan luar biasa, maka the hiden excellence paling
unggul. Jadi, manusia di seluruh dunia belum menggunakan seluruh potensinya,
belum menggunakan inteligensinya yang diekspresikan melalui kehidupan
intelectualnya. Apa lagi manusia Indonesia yang dipakai Cuma berapa person. Ada
anekdot atau lelucon bahwa pernah suatu ketika di mal Amerika ada penjualan
otak dan otak orang Indonesia paling laris karena belum pernah dipakai. Oleh
sebab itu, kita hendaknya menggunakan semaksimal mungkin sel otak kita melalui
model pendidikan. Jadi, setiap anak dilahirkan dengan bakat yang berbeda-beda.
Sedangkan yang dimaksud dengan bakat adalah kemampuan inheren dalam diri
seseorang yang dibawa sejak lahir dan terkait dengan struktur otak. Secara
genetis struktur otak terbentuk sejak lahir tetapi bagaimana fungsinya sangat
ditentukan oleh cara anak berinteraksi dengan lingkungannya (aktualitas).
Di samping itu, tingkat kecerdasan,
Inteligence Quotient (IQ) anak juga berbeda satu sama lain. Perbedaan tersebut
dapat dilihat dari tingkat IQ yang dimiliki oleh anak tersebut. Mengukur IQ
sebaiknya dilakukan pada waktu anak kelas 5 –6 Sekolah Dasar. Setiap anak
normal mentalnya memiliki kemungkinan genius dalam dirinya, yang bisa digali,
bisa ditemukan yang paling baik (yang unggul tetapi belum nampak pada diri anak
(hidden exellence in personhood). Namun demikian, bagi anak yang memiliki
tingkat IQ di bawah normal (below average) akan sangat sulit mencapai tingkat
superior dan genius walaupun peranan lingkungan begitu besar. Perbedaan
potensi, bakat, dan inteligensi yang terdapat pada setiap orang itulah yang
disebut dengan keunikan individualitas. Keunikan individualitas melahirkan
jenis-jenis dan keragaman yang membentuk satu kesatuan masyarakat yang plural.
Interaksi Nature dan Nurture
Pluralitas masyarakat tentu saja diikat oleh
suatu budaya yang memiliki pandangan hidup, way of life dalam rangka menegakkan
nilai-nilai moralitas, dan tata krama yang disepakati bersama dalam kehidupan
masyarakat. Namun, tata nilai dan moralitas yang dianut dalam suatu masyarakat
atau negara mengalami goncangan dan gesekan yang hebat memasuki era
globalisasi. Goncangan itu terjadi akibat perpaduan nilai-nilai baru yang
dibawa oleh arus globalisasi dengan tata nilai lama yang dianut masyarakat.
Oleh karena itu, setiap negara melakukan restrukturisasi untuk menghindari
terjadinya persinggungan negatif dari segala kehidupan. Di Indonesia,
restrukturisasi telah membawa dampak begitu besar di dalam berbagai sektor
kehidupan. Salah satu sektor yang telah direstrukturisasi adalah sektor
pendidikan yang berwujud reformasi pendidikan sebagai dampak dari perubahan
sistem pengelolaan negara yang sentralistik menjadi otonomi daerah dalam rangka
mempercepat proses inovasi ilmu pengetahuan dan teknologi.
Perubahan sistem yang dimaksud mencakup
perubahan dalam melakukan inovasi ilmu pengetahuan dan teknologi tidak dapat
dipisahkan dari dua pendekatan yang perlu dipertimbangan dalam psikologi.
Pendekatan tersebut seperti yang dikatakan oleh W. Dithey dan Spranger yang
terdiri atas psikologi yang bersifat bathiniah dan behaviorisme. Keduanya
mempunyai dasar pijakan yang berbeda dalam melakukan pengukuran; yang pertama
menggunakan pendekatan nilai yang mencakup keseluruhan verstehen, sistem dalam
diri manusia. Kedua, menggunakan pendekatan eksperimen yang melibatkan alam
sebagai unsur yang kausal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar