Pengesahan Rancangan
Undang-Undang Perguruan Tinggi menjadi Undang-Undang pada Tanggal 13 Juli 2012 melalui sidang paripurna DPR boleh jadi membawa dampak
positif bagi pengembangan dan pembinaan Perguruan Tinggi di bawah kendali
pemerintah, tetapi berpengaruh negatif terhadap munculnya bentuk hegemoni dan
dominasi kekuasaan yang menghambat otonomi Perguruan Tinggi. Dari perspektif pemberdayaan,
bentuk intervensi pemerintah dapat dimaknai sebagai bentuk penertiban dan
pengawasan terhadap berbagai praktik manipulasi pengelolaan sebagian Perguruan
Tinggi yang berimbas pada pendidikan berkualitas rendah sekaligus juga
memediasi dan menfasilitasi penyediaan budget yang memadai dalam upaya optimalisasi kebermaknaan
tri darma Perguruan Tinggi.
Namun, dari
perspektif kekuasaan, intervensi pemerintah yang bersemayam melalui
undang-undang pendidikan tinggi dikhawatirkan sebagai upaya dekonstruksi
kemapanan otonomi Perguruan Tinggi dengan mereduksi peran strategis kebebasan ilmiah
dan akademik yang selama ini dimainkan. Hegemoni kekuasaan dalam undang-undang
pendidikan tinggi dipandang terlalu jauh turut campur dalam menentukan
kurikulum dan program studi sehingga disinyalir dapat menimbulkan kebekuan
dalam berkreasi dan berkarya untuk mengusung tugas mulia dalam mencerdaskan
kehidupan bangsa dan memanusiakan manusia.
Polarisasi perdebatan
antara dua perspektif pemberdayaan dan dominasi kekuasaan tersebut seolah telah
membias pada upaya memosisikan Perguruan Tinggi di satu sisi yang sedang
berhadapan dengan Pemerintah di sisi lain. Perdebatan ini jika ditelaah secara
ilmiah sangat menarik untuk diperbincangkan. Menariknya karena semakin dikaji
semakin melahirkan gagasan dan pandangan-pandangan baru yang tidak
berkesudahan. Tetapi, amat sangat menarik lagi jika perdebatan itu diakhiri
dengan merektualisasi peran perguruan tinggi untuk menyambut derasnya desakan
perubahan perguruan tinggi berbasis riset.
Artikel lengkap dapat diakses pada Dr. Muhammad Yaumi's articles
Tidak ada komentar:
Posting Komentar