Catatan
Perkuliahan Prof. Dr. Conny R. Semiawan
Oleh
Muhammad Yaumi
Dampak
Penelitian Neuroscience terhadap Belajar
Penggunaan the
whole brain approach dalam menfungsikan kedua belahan otak kiri dan otak kanan
merupakan upaya yang harus dilakukan semaksimal mungkin dalam upaya mendidik
anak agar mencapai perkembangan yang seimbang. Mengabaikan salah satu dari
keduanya akan menyebabkan anak itu berkembang tidak dalam batas-batas
kewajaran. Oleh karena itu, Invitational Learning Invironment adalah lingkungan
belajar yang mengundang anak ke dalam dunia belajar dengan membawa anak agar
berminat, interested, terhadap hal-hal yang dipelajari. Invititation berarti
mengundang laksana tamu yang diundang untuk menghadiri suatu acara.
Begitulah
gambarannya anak didik yang menghadiri pelajaran laksana menikmati sajian yang
disediakan oleh yang mengundang, guru. Hal inilah yang akan menghasilkan apa
yang dimaksudkan dengan interface, antara apa yang dibicarakan dengan yang
keluar dari diri seseorang. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa manusia
itu dilahirkan dengan membawa potensi, bakat dan lebih dari satu bakat. Bakat
itu harus berubah dan berkembang menjadi kenyataan dalam bentuk prilaku
konkrit. Perkembangan menuntut adanya pembelajaran dan pengalaman agar bisa
berubah. Jadi, antara perkembangan dan pembelajaran sama-sama mengharapkan
adanya perubahan. Keduanya bagaikan dua sisi dari satu mata uang yang menyatu
dalam wujud aktualisasi.
Pengaruh
Lingkungan terhadap Pertumbuhan Inteligensi (Penelitian Neuroscience)
Kematangan
banyak dibantu oleh pengalaman melalui lingkungan. Pendidikan itu penting bagi
setiap anak, tapi harus diingat bahwa pendidikan itu harus sesuai dengan
kebutuhan anak, baik menyangkut materi dan aspek internal perkembangan anak
seperti tingkatan umur. Tingkat umur harus sesuai dengan apa yang disebut
Development Appropriate Practice (DAP) atau praktek kesesuaian perkembangan
yang menuntut adanya kebermaknaan. Kalau anak itu diajarkan menyanyi hendaknya
diajarkan lagu-lagu yang bermakna sesuai dengan kondisi anak yang sesungguhnya.
Sebaliknya kita hendaknya jangan mengajarkan nyanyian yang tidak sesuai dengan
maknanya atau asal bunyi saja tanpa mengaitkannya dengan kondisi riil yang
sesungguhnya.
Piaget adalah
orang yang pertama menemukan bahwa pembelajaran itu harus disesuaikan dengan
kondisi murid, bukan disesuaikan dengan pengetahuan yang kita miliki. Di situ
harus ada kesiapan untuk mengamati agar terjadi kecocokan pembelajaran dengan
kemampuan murid. Di sisi lain Vigostsky mengatakan jangan hanya terikat pada
apa yang dijadikan patokan seperti yang dikemukan oleh Piaget bahwa terdapat
umur yang dijadikan patokan secara universal seperti umur 0 - 2 tahun adalah
tahapan pengembangan sensory-motor stage, tahap perkembangan sensori motor,
umur 2 sampai 5 tahun adalah tahapan preoperational stage, umur 7 – 11 tahun
adalah tahap concrete operation. Menurut Piaget mematokkan tingkat-tingkat
sesuai dengan umurnya dan tidak boleh memberikan pelajaran di atas dari patokan
umur tersebut. Karena Piaget melakukan penelitian di rumah yatim piatu yang
sesungguhnya meneliti anak yang pertumbuhannya tidak wajar karena tidak
memiliki sanak keluarga kecuali teman-teman mereka sendiri. Padahal sangat
perlu adanya interaksi dengan yang lain.
Sedangkan
Vigostsky menggunakan teori tentang Zone of Proximal Development (ZPD) yang
merupakan dimensi sosio-kultural yang penting sebagai dimensi psikologis.
Seorang guru dalam melaksanakan kewajiban mengajarnya harus memahami murid
dalam dinamika sosial. Guru yang terampil mengajar adalah guru yang selalu
mengaitkan kegiatan belajarnya dengan konteks sosial. Mengingat terdapat
rentangan potensial belajar yang dibentuk dari kebudayaan, maka perlu menumbuh
kembangkan fungsi-fungsi dalam proses mencapai kematangan ZPD, suatu rentangan
potensial belajar yang sebenarnya belum matang dan tuntas aktualisasinya, tetapi
sudah mengarah ke suatu daerah antara potensi dan aktualisasi.
Jadi Vigostsky
adalah seorang ahli yang selalu memperhatikan konstruksi sosial. Menurut dia,
seluruh perkembangan dan prilaku manusia selalu ada proses kesesuaian antara
prilakunya dengan konstruksi sosial, process of approriation by behavior.
Appropriation berarti kesesuaian prilaku dengan konstruksi sosial yang terdapat
dalam kehidupan masyarakat. Sedangkan Piaget melihat dan membangun teorinya
lebih pada perkembangan pribadi perorangan, personal constructivist theory yang
tentu saja berbeda dengan Vigostsky yang lebih menitikberatkan pada sosial
constructivist. Piaget sangat terkait dengan proses dasar-dasar biologis
manusia. Vigostsky mengatakan bahwa memang perkembangan kognitif sangat terkait
dengan proses dasar-dasar biologis manusia yang banyak kemiripannya dengan
binatang, tetapi masih ada psikologis tinggi anak lahir dengan membawa
rentangan kemampuan, persepsi, dan perhatian dalam konteks sosial dan
pendidikan akan tertransformasikan. Artinya perubahan itu terjadi kalau anak
tersebut dididik dalam konteks sosial melalui hukum sosial, bahasa, sarana,
kebudayaan tertentu dapat menjadikan fungsi psikologis kognisi tinggi. Inilah
ciri pandangan Vigostsky yang mendapat pertentangan yang sangat hebat di Rusia,
terutama dari kaum behavioris yang bernama Ivan Pavlov. Dengan demikian, yang
dimaksud dengan ZPD adalah jarak antara tingkat perkembangan actual dengan
tingkat perkembangan potensial. Di sini, orang yang sudah matang dapat
menyelesaikan masalah sendiri tanpa bantuan orang lain. Jika daerah actual itu
putih dan daerah potensial itu hitam, maka terdapat daerah yang abu-abu, gray
area, yang merupakan daerah ZPD, tetapi sudah dekat dengan daerah yang putih.
Vigostsky juga
mengemukakan adanya scaffolded instruction, pembelajaran yang mengikuti
lompatan-lompatan, yang dia bagi ke dalam tiga prinsip utama, yaitu holistik
yang artinya harus bermakna, harus dalam konteks sosial tertentu, harus
memiliki peluang untuk berubah dan terkait antara tingkat yang satu dengan
tingkat berikutnya. Kalau ketiga hal ini dapat diwujudkan, maka hal itulah yang
disebut dengan pembelajaran yang menggunakan pendekatan timbal balik atau
dikenal dengan istilah Reciprocal Teaching Approach. Malah anak itu akan
memperoleh tantangan yang terkait dengan aktivitas di luar dari tingkat
perkembangannya.
Generik
Research: Developmental Interface dan Unshared Environment
Sedangkan pada
tahap seseorang anak berada dalam ZPD dapat dilihat ke dalam empat tahapan;
yakni ada tahapan di mana kinerja anak mendapat bantuan dari pihak lain seperti
teman-teman sebayanya. Oleh karena itu tahapan ini dapat menggunakan model
pembelajaran kooperatif atau kolaboratif. Pada tahap berikutnya, anak itu akan
mengalami perkembangan, di mana kinerjanya tidak lagi terlalu banyak
mengharapkan bantuan dari pihak lain, less dependence external assistence.
Kinerja anak pada tahap ini sudah terinternalisasi dan kita juga sudah bisa
berasumsi bahwa tanggungjawab anak pada tahap ini sudah berada pada titik
kemampuan untuk menolong dirinya sendiri. Setelah itu anak tersebut akan
mencapai tahap automatisasi, di mana kinerjanya sudah lebih terinternalisasi
secara otomatis walaupun masih melakukan sedikit kesalahan. Setelah itu,
barulah kinerjanya mampu mengeluarkan perasaan dari kalbu, jiwa, dan emosinya
yang dilakukan secara berulang-ulang, bolak-balik, recursion. Pada tahap ini,
keluarlah apa yang disebut dengan de automatisation sebagai puncak dari kinerja
sesungguhnya. Maka berfungsilah kedua belahan otak kanan dan otak kiri anak di
dalam proses pembelajarannya yang pada akhirnya dapat menghasilkan interface
dan unshared environment, di mana terjadi pertautan antara apa yang dibicarakan
dengan prilaku yang dilaksanakan dalam suatu lingkungan yang tidak terbagi.