Senin, Februari 16, 2015

INTEGRATING SOCIAL MEDIA TO PROMOTE STUDENT-CENTERED LEARNING AT ISLAMIC HIGHER EDUCATION OF EASTERN INDONESIA



1. INTRODUCTION
Recently, Internet users in Indonesia have shown an increasing trend. The number of Internet users reaches 63 million people in 2012 (APJJI, 2012), became 74.57 million in 2013 (MarkPlus Insight, 2014), and may reach 107 million in 2014, and 139 million users in 2015 (Semuel, 2014). Following the increased usage of the Internet, social media users also increase. Survey result of the Directorate General of Information and Public Communication, Ministry of Communications and Information shows that 95% of Internet users accesses social media like Facebook and twitter (Investor Daily, 2014).
The use of social media does not only occur for the social network interaction but also can be used for learning and teaching includes discussion forums, blogs, wikis, and 3D virtual worlds (Victoria University, 2014). This evidence allows users to modify existing content, create new content, personalize their Web experiences, and build online educational networks around shared interests (Lightle, 2010). Various social media are perceived to have positive contribution in learning. The dominant use of social media in face to face classroom and synchronous and asynchronous distant learning are Facebook, twitter, YouTube, blogs, Myspace, wikis, LinkedIn, flicker, and slide share (Moran, Seaman, and Kane, 2011).
These media, however, have not been integrated systematically in Indonesian classroom setting, even in Islamic higher education. Internet network, technology unavailability, and lack of lecturers’ ability become dominant reasons of the integration activity. Meanwhile, students’ activity to accomplish the assignment outside the classroom setting is more dependent on using the Internet rather than entering library to manually access the physical information from book, journal, newspaper, etc. The students prefer accessing goggle, web-blog, e-book, YouTube, 4shared, and other online software to looking for physical books in library’s catalog (Damopolii AND Yaumi, 2013).The phenomenon indicates students’ high expectation in learning with technology especially social media as online software.
Using social media in learning is imperative to create student-centered learning. The inclusion of social media like a wiki has been so useful for engaging students in class participation that the instructor has started using a wiki as a key component in a face-to-face undergraduate course (Hu and Johnston, 2011). Student-centered learning enables personalized and customized learning, social and emotional support, collaborative and authentic learning experiences, assessment for learning (Jo An and Reigeluth, 2011). Besides, student-centered learning empowers students to construct their own knowledge and enables them to think critically, learn to work in teams and solve problems collectively (Neo and Tse Kian, 2003)

EVALUASI PROGRAM PENDAMPINGAN GURU SD DALAM IMPLEMENTASI KURIKULUM 2013



A. PENDAHULUAN
SEJAK diberlakukannya Kurikulum baru pada pertengahan tahun 2013 yang lalu maka banyak hal yang perlu dilakukan agar kebijakan pemerintah terkait dengan perubahan kurikulum ini dapat terlaksana dengan baik.  Salah satu yang menjadi pertimbangan agar Kurikulum 2013 dapat diterima dan diimplementasikan, maka perlu mempertimbangan faktor-faktor keberhasilannya. Faktor keberhasilan implementasi Kurikulum terbagi menjadi dua kategori, yaitu pertama faktor penentu (buku sebagai bahan ajar, tenaga pendidik dan kependidikan yang memiliki kompetensi), kedua faktor pendukung (penguatan peran pemerintah dalam pembinaan dan pemantauan, serta penguatan manajemen dan budaya sekolah).  Baik faktor penentu maupun faktor pendukung, keduanya saling terkait dan melengkapi agar tujuan pendidikan dapat tercapai. 
Langkah awal yang telah dilakukan dalam Implementasi Kurikulum 2013 adalah melakukan Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) yang diperuntukan bagi guru, Kepala Sekolah dan Pengawas Sekolah. Ketiga komponen ini sangat berperan dalam keberhasilan Implementasi Kurikulum 2013 di lapangan. Oleh karena itu untuk memelihara dan meningkatkan kesinambungan pemahaman dan implementasi Kurikulum 2013 pada masing-masing satuan pendidikan, diprogramkan kegiatan pendampingan untuk para guru dan kepala sekolah.  Program pendampingan ini dianggap perlu dilakukan, karena walaupun guru telah dilatih kurikulum 2013 selama lima hari berturut-turut akan tetapi daya serapnya masih di bawah rata-rata.  Hal ini dapat dipahami karena sebagian besar guru belum memaknai alasan perubahan kurikulum dengan baik, sehingga mindset atau pola pikir mereka masih belum berubah.  Hal ini tentu saja akan memengaruhi penerimaan dan pemahaman guru terkait kurikulum 2013 selanjutnya, di sinilah peran penting program pendampingan. Program pendampingan ini dilakukan sebagai penguatan dalam memahami konsep Kurikulum 2013 berikut perubahannya di lapangan serta untuk membantu mengatasi berbagai kendala yang akan muncul pada saat implementasi kurikulum berlangsung.  Untuk memperoleh strategi pendampingan kurikulum 2013 secara tepat, maka terlebih dahulu perlu melakukan evaluasi program pendampingan. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimana Evaluasi Program Pendampingan Guru SD dalam Implementasi Kurikulum 2013? Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi bagi pihak penyelenggara program pendampingan implementasi kurikulum 2013 dalam merancang dan melaksanakan proses pendampingan yang efektif, efisien dan menarik.  

KONSTRUKSI MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS KECERDASAN SPIRITUAL UNTUK PERBAIKAN KARAKTER



A. PENDAHULUAN
Pembangunan karakter dan budaya adalah upaya kolektif bangsa dalam rangka mengangkat harkat dan martabat bangsa, serta manusia Indonesia seutuhnya. Fenomena kemerosotan moral dan degradasi akhlak yang mengemuka belakangan ini telah mengancam sendi-sendi keteladanan sikap dan perilaku sebagian komunitas anak bangsa. Penyimpangan perilaku seperti praktik korupsi, konsumsi narkoba,  tawuran massal, demonstrasi anarkis, dan berbagai bentuk tindakan melawan hukum lainnya adalah dampak dari kemerosotan moral. Hal ini telah menginspirasi para ilmuwan dan praktisi pendidikan untuk mengambil langkah antisipatif dengan mengintegrasikan nilai-nilai karakter dalam pembelajaran (Yaumi,  2014). Langkah tersebut dipandang sangat efektif untuk mengonstruksi dan merekat bangunan akhlak dan budi pekerti yang luhur sebagai landasan terbangunnya Indonesia emas yang lebih berperadaban dan berperikemanusiaan (Dewantara, 1977).
Keadaban bangsa Indonesia telah lama menjadi cita-cita bersama dan selalu menjadi inti tujuan pendidikan nasional. Undang-undang No. 2/1989, pasal 4 mencantumkan bahwa "Pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi-pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung-jawab kemasyarakatan dan kebangsaan." Begitu pula tujuan pendidikan nasional sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang No. 20, Tahun 2003, Pasal 3 menyebutkan bahwa "Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab."
Beriman, bertakwa, berbudi pekerti luhur, berpengetahuan berketerampilan, memiliki kesehatan jasmani dan rohani, berkepribadian mantap, mandiri, dan tanggung jawab, sebagaimana tercantum dalam undang-undang tersebut dipandang sebagai nilai-nilai spiritual yang digali dan dikembangkan dari budaya, tradisi, dan agama yang dianut oleh mayoritas manusia Indonesia. Nilai-nilai spiritual ini berkorelasi langsung dengan kehidupan keagamaan, kebahagiaan, kesadaran paling dalam, motivasi, kepuasan kerja, dan strategi pembelajaran. Temuan yang ditunjukkan oleh Baharuddin dan Ismail (2013) menunjukkan bukti bahwa kecerdasan rohaniah warga tua dengan amalan agama di Rumah Kebajikan mempunyai hubungan positif yang signifikan. Warga tua yang mempunyai domain spiritual yang tinggi menyebabkan mereka senang untuk melaksanakan amal ibadah dalam kehidupan keseharian mereka. Begitu pula studi yang dilakukan oleh Isfahani dan Nobakht (2013) yang menemukan bahwa terdapat hubungan signifikan antara kecerdasan spiritual dengan kebahagian. Kecerdasan spiritual memicu terbentuknya kemampuan dan keterampilan yang menyebabkan mereka cenderung sangat aktif dan memengarungi konteks sosial dan sejarah yang berbeda dengan orang lain umumnya dan oleh karena itu mereka tidak pernah takut menghadapi kehidupan yang menyebabkan mereka mampu mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi untuk mengantarkan pada kepuasan batin, kebahagiaan hidup, dan kesadaran yang mendalam.